Senin, 20 Agustus 2012



TUJUAN AKHIR BUKANLAH SURGA
oleh: anak agung gde oka santika

BAB I
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang
            Dalam pembahasan kali ini disebut tentang adanya surga, neraka dan moksha. Dalam ceramah-ceramah agama, surga dan neraka ini banyak sekali disebut-sebut, tapi paling sedikit dijelaskan. Orang-orang yang rajin beribadat serta berbuat baik dalam hidupnya di dunia ini nanti setelah mati akan mendapat surga. Sebaliknya, orang-orang yang mengabaikan ibadat dan berbuat buruk di dunia ini kelak setelah mati akan masuk neraka.
            Surga, mendengar kata ini membayangkan kita bahwa jikalau masuk surga maka hidup kita akan tentram dan bahagia, tetapi di dalam konsep Hindu tujuan umat beragama Hindu bukanlah surga, melainkan Moksha. Melalui swadharmaning agama kita bisa mencapai tujuan. Diibaratkan agama itu adalah sebuah perahu yang mengantarkan pedagang untuk menebrangi lautan dan ke tempat tujuannya (sarasamucchaya-14). sama halnya dengan agama, agama adalah sarana transportasi menuju tujuan kita Mokshartham Jagathita Ya Ca iti  Dharma. Kata Surga atau Sorga, didalam bahasa Sanskerta disebut Svarga. Ia berasal dari kata Svah dan Ga. kata Svah, ia berarti suka, senang, bahagia.
            Sesuai penjelasan di atas, apakah kita berpendapat Surga itu ada ataukah tidak ada, kita semua mengertikan Surga itu adalah kesukaan, kesenangan, atau hals serta keadaan yang dipenuhi oleh berbagai kesenangan-kesenangan, kenikmatan-kenikmatan, bahkan lebih jauh ada yang memberikan "perhatian pertama"-nya pada kesan bahwa Surga itu berarti kita akan dilayani oleh wanita-wanita cantik alias para bidadari yang tidak akan pernah berubah usia ke menjadi tua, para apsara yang selalu muda cantik menarik. Itulah Surga yang ada di kepala kita, sesuai penjelasan tadi, yaitu Surga berarti kesukaan, kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan.
            Apabila kita membahas surga maka juga kita harus menyingung neraka, karena surga dan neraka sangat berkaitan erat. Surga dan neraka ada tersembunyi didalam setiap perbuatan kita sendiri. Demikian juga hasil karma kejahatan/keburukan akan mengantarkan orang ke neraka.
            “Tvi vidam narakasyedam
            Dvaram nasanam atmanah,
            Kamah krodhas tatha lobhas
            Tasmad etat trayam tyajet (bhagawadgita XVI-21)
Artinya;
            “Tiga pintu gerbang neraka jalan menuju jurang kehancuran jiwa. Ada tiga yaitu kama, krodha dan lobha oleh karena itu, ketiganya harus dihindarkan.
            Sekarang kita mengalih kepada kata Neraka, yang didalam penulisan Latin biasanya ditulis Naraka atau Naaraka. Penjelasan-penjelasan tentang Neraka, kita bisa dapatkan didalam berbagai kitab-kitab suci Veda. Khususnya yang banyak mengajarkan masalah Surga Neraka secara detail adalah kitab-kitab Itihasa dan Purana. Kalau didalam literatur Catur Veda atau bagian-bagian terdekatnya seperti Upanisad dll, perihal Surga Neraka dijelaskan lebih banyak didalam bentuk "sangketik" atau aba-aba, tanda-tanda yng sering pula tidak jelas, seperti misalnya "andham tamah pravisanti sarve", - mereka semua pergi kepada kegelapan maha pekat.

            Terhadap pertanda-pertanda "sangketik" seperti itu, hanya beliau-beliau yang tertentu saja dapat mengertikannya. Tetapi, didalam literatur Veda khususnya Purana-purana dan Itihasa, Surga Neraka diberikan penjelasan yang lebih rinci bahkan dengan deskripsi yang jelas gamlang. Yang sekali membaca atau mendengar, orang tidak terpelajar pun dapan mengertikannya dengan baik.
            Penjelasan-penjelasan dengan paparan-paparan yang sangat jelas, langsung dihubungkan dengan kehidupan yang manusia alami sehari-hari, memberikan gambaran sangat jelas kepada orang-orang pada umumnya tentang Surga dan Neraka. Orang tidak lagi meraba-raba tentang apa itu Surga Neraka melainkan mereka diajak langsung "mengalami" Surga - Neraka tersebut. "Benarkah ada Neraka atau Surga?", kita tidak akan pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan atau keraguan seperti itu dari bibir para penganut Veda atau orang-orang Hindu pada umumnya. Mereka telah "diajak mengalami" Surga Neraka itu apa, dan mereka telah menutup keraguan terhadap keberadaan Surga Neraka itu.
            Kalau toh ada yang mempunyai keraguan tentang surga dan neraka, maka mari kita bahas bersama-sama.




2.2. Rumusan Masalah
            Dalam percakapan sehari-hari sering kita dengar orang berkata "seperti di surga rasanya" atau "seperti di neraka rasanya" Tapi dan bagaimana surga itu? Dimanakah neraka? dan apakah Moksha? Adakah jalan menuju kesana? Kalau kita membeli rumah, kita harus tahu dimana letaknya, berapa luasnya, bahan bangunannya dari apa serta apa isinya. Tentu saja kita tidak mungkin ke surga sebelum kita mati. Tapi paling sedikit kita harus tahu "denah dan gambarannya", melalui apa yang dikatakan agama-agama tentangnya.
1.3.  Tujuan
            Tujuan sejati orang Hindu tidaklah mengejar sorga. sorga dan kenikmatan yang ada di dalamnya bukanlah idam-idaman pemeluk Hindu sejati. ada yang jauh lebih indah dan membahagiakan dibandingkan kenikmatan surga. kenikmatan surga sangat terbatas. Tujuan penulis membuat karya ilmih ini bukanlah semata-mata hanya penyelesaian tugas belaka, terlebih lagi menyelesaikan tugas hanya mengandalkan internet saja ataupun copy paste tugas teman. Tidak! Melainkan penulis mengerjakan karya ini bertujuan mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu. menambah keyakinan akan konsep ajaran agama khusus nya moksha, karena Moksha itu bukanlah janji melainkan keyakinan yang berakhir dengan kenyataan dalam dunia batin yang merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang dalam.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Surga dan Neraka
2.1.1. Surga Menurut Hindu
            Menurut Hindu, surga berasal dari kata "svar" yang artinya "cahaya" dan "ga" (go dalam bahasa Inggris artinya pergi). Dengan demikian, swarga diartikan "pergi menuju cahaya". Mengutip Veda dan Upanisad, dalam buku ini dijelaskan bahwa surga adalah dunia yang penuh cahaya, di mana cahaya matahari, bulan dan bintang tidak ada artinya apa-apa dibanding cahaya yang dipancarkan surga. Ada pula disebutkan, bila surga atau neraka merupakan kata sifat atau keadaan, itu berarti surga dan neraka itu ada di dunia ini (halamana 198). Dalam percakapan orang awam, surga dan neraka sering disebut sebagai sebuah tempat. Akan tetapi di mana tempat itu, tidak ada yang dapat menjawab kurang pasti.
            Dipercayai sebagai tempat, mungkin lantaran mereka mengacu pada cerita-cerita klasik seperti Ramayana, Mahabharata, dan cerita rakyat yang menceritakan tentang surga dan neraka. Dalam Ramayana dan Mahabharata yang sering diangkat sebagai lakon pementasan wayang kulit, surga sering diidentikkan sebagai alamnya para dewa dan bidadari. Alamnya Dewa Brahma sering disebut Brahmaloka, alamnya Indra disebut Indraloka. Di surga sepertinya juga ada "negara-negara bagian".
            Surga dibayangkan sebagai tempat tercermin dalam lakon Bima Swarga, yaitu perjalanan Bima ke surga mencari Pandu yang akan "diaben". Demikian pula dalam Arjuna Wiwaha, dikisahkan kunjungan Arjuna ke surga setelah lulus dari tapanya di Gunung Indrakila. Dalam cerita rakyat Cupak-Gerantang, Cupak dikisahkan ke surga mencari ayahnya yaitu Dewa Brahma. Dari cerita tersebut, maka surga dan neraka jelas-jelas digambarkan sebagai tempat. Tempat ini mungkin juga merupakan simbol yang bisa ditafsirkan sebagai "sifat" atau "keadaan".
            Istilah surga yang kita kenal berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Svarga (Swarga). Dalam ajaran Hindu, Svarga adalah sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang baik, sebuah tempat penantian sebelum reinkarnasi namun belum siap untuk mencapai mokhsa, dimana lokasinya di puncak Gunung Meru. Ibu kota Svarga adalah Amaravati, dipimpin oleh Dewa Indra, dimana pintu masuknya dijaga oleh Airavata.
            Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi Swarga. Istilah Surga dalam bahasa Arab disebut Jannah, sedangkan dalam bahasa Hokkian digunakan istilah Thian.
            Dalam Agama Hindu tidak kita temukan gambaran neraka seperti itu. Lalu apakah orang baik dan orang jahat sama-sama masuk surga?. Bagaimana soal keadilan ditegakkan?. Dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah mati, jiwa kita mencapai Moksha atau lahir kembali kedunia. Bila kita lahir kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat- akibat dari perbuatan kita dari kehidupan yang terdahulu. Akibat baik atau akibat buruk.

            Disini dikenal istilah kelahiran surga dan kelahiran neraka. Kelahiran surga artinya dalam hidup ini kita menjadi orang yang beruntung dan berbahagia. Kelahiran neraka artinya dalam hidup ini kita akan menderita dan banyak mendapat kesulitan. Penderitaan itu sangat banyak jenisnya. Misalnya karena : sakit yang tidak dapat disembuhkan, penghianatan, kebencian, dendam, iri hati, sakit hati, dan kemarahan yang tak terkendali adalah bentuk neraka didunia ini.

            pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat Hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
            Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta (Brahman).
            Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.

            Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.

            apakah Sorga persinggahan sementara Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta)

2.1.2. Neraka Menurut Hindu
            Neraka sendiri disebutkan sebagai "nrinati klesham", yaitu sebagai yang membawa klesha. Kata klesha dipergunakan didalam literatur SAnskerta untuk menunjukkan keburukan, kesakitan, keaiban. Secara umum, klesha berarti kedukaan, kesengsaraan, kesakitan, penderitaan dan lain-lain sejenis itu. Jadi, kalau menurut pengertian ini (nrinati klesham iti naraka) berarti Naraka adalah yang memberikan penderitaan, kedukaan, kesengsaraan, kesakitan, siksaan.
            Kitab-kitab Yoga khususnya Yoga Sutra Patanjali memberikan penjelasan tentang 5 (lima) jenis kedukaan yang diberi nama Panca Klesha, antara lain:
1. avidya menunjukkan kebodohan, kegelapan, ketidakberadaan pengetahuan,
2. asmita berarti mementingkan diri sendiri, kecendrungan egoisme,
 3. raga berarti ketertarikan,
4. dvesha menunjuk pada kebencian, (biasanya raga dan dvesha selalu disebut atau ditulis bergandengan, raga-dvesha, tertarik-benci) dan
5. abhinevesa menunjuk pada keterikatan.
            Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
            Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam.
            Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
            Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
            Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
            Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.

2.2. Konsep Buddhis tentang Surga dan Neraka.
                        Sang Buddha membentangkan alam-alam kehidupan dalam tiga puluh satu jenis yang membentuk tiga kelompok. Namanya Triloka.
                        Kelompok pertama dinamakan kamma-loka atau alam kehidupan indrawi, terdiri dari sebelas jenis alam yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenangkan (suggati).

                        Kelompok kedua , rupa-loka atau alam kehidupan dari rupa Brahma, terdiri dari : - enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka, atau alam kehidupan dari arupa Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.
                        Di alam-alam tersebut , para makhluk mengembara , mengalami siklus lahir dan mati berulang-ualang sebelum berhasil mencapai Nirwana atau Nibbana.
Keempat alam yang menyedihkan adalah:
1) Neraka (Niraya), yang terbagai dalam beberapa kelompok alam, diantaranya ada kelompok maha-neraka yang terdiri dari delapan jenis neraka, salah satunya yang terkenal Avici-neraka, tempat Dewadata dilahirkan kembali atau tumimbal lahir dalam kehidupan berikutnya. Kehidupan di neraka tidaklah kekal, dengan habisnya karma buruk, penghuni neraka kemudian dapat terlahir di alam lain;

2) Alam binatang (tiracchana), ada yang dapat dilihat dengan mata biasa dan ada yang tidak;

3) Alam hantu (peta), juga terbagi dalam beberapa kelompok yang tidak terlihat dengan mata biasa. Ada empat jenis hantu ,
a) yang hidup dari pemberian makhluk lain (paradattupajivika-peta) ,
 b) yang selalu kelaparan dan kehausan (khupapipasika-peta) ,
c) yang selalu kepanasan (nijjhamatanhika-peta) , dan sejenis asura (kalakancika-peta);
4) Alam asura (mengandung arti tidak bercahaya atau tidak bergerak), ada kelompok makhluk neraka (niraya -asura), ada kelompok hantu (peta-asura).
                        Dalam kitab Abhibhu-sutta tidak disebutkan nama alam-alam yang rendah secara tersendiri dan berbeda dengan nama-nama surga yang di sebutkan secara satu-persatu.
                        Alam binatang terdapat di bumi yang juga merupakan alam manusia. Begitupun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri, mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Rupanya ke empat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagai keadaan batin. Bumi dapat menjadi surga atau neraka, tergantung pada manusia yang menghuninya.

Sedangkan ke tujuh alam yang menyenangkan adalah :
1) Alam manusia (manussa) , ditandai adanya penderitaan, juga kebahagiaan. Para Bodhisattva lebih memilih alam manusia, karena alam ini paling sesuai untuk mengabdi dan menyempurnakan paramita. Para Buddha melalui kelahiran sebagai manusia untuk dapat menyempurnakan dirinya. Apa yang kita sebut sebagai bumi, adalah Jambudipa. Di jagat raya ini menurut kosmologi Buddhis terdapat banyak sekali bumi yang sejenis. Aparagoyana, Uttarakura, dan Pubbavideha diduga juga merupakan planet yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia;
2) Surga Catummaharajika, dihuni oleh Empat Dewa Raja (maha-raja) dan pengikutnya. Dewa-dewa pelindung empat penjuru cakrawala ini adalah Dewadhatarattha, Dewavirulaka, Dewavirupakkha, dan Dewakuvera. Menurut Buddha Dharma ada tiga dewa di alam ini, yaitu dewa yang tinggal di atas bumi, seperti di gunung, sungai , laut. Rumah, Vihara; Dewa yang tinggal di atas pohon; dan dewa yang tinggal di angkasa termasuk di planet lain;
3) Surga Tavatimsa, dihuni oleh tiga puluh tiga dewa, dengan Dewa Sakka sebagai rajanya;
4) Surga Yama, dihuni oleh mereka yang tidak mengenal kesulitan atau rasa sakit;
5) Surga Tusita, alam kenikmatan. Sebelum dilahirkan sebagai manusia , para Bodhisattva , termasuk Maitreya tinggal di alam ini;
6) Surga Nimmanarati, alam dewa yang menikmati ciptaannya;
7) Surga Paranimmita-vasavatti , alam dewa yang membantu menyempurnakan ciptaan dewa-dewa lain.
                        Melihat konsepsi alam dalam Buddha Dharma, maka umat Buddha bebas memilih. Yang selalu berbuat baik akan tinggal di alam yang menyenangkan dan yang dipenuhi oleh Lobha, dosa, dan moha akan tinggal di alam yang menyedihkan. Alam yang menyenangkan maupun yang menyedihkan tersedia di bumi, dan makhluk-makhluk termasuk manusia berlomba untuk meraihnya.( Ringkasan : Maha Karmavibhangga Sutra; Ksitigarbha Bodhisattva Purva-Pranidhana Sutra).
2.3. Mencapai Tujuan Manusia Menurut Hindu
2.3.1. Melalui Ritual Simalakama
                       Dalam melaksanakan kewajiban upacara yanjna (ritual-simbolik), selain berlandaskan tattwa (substansi, filosofi, konsepsi, makna), hendaknya diimplementasikan juga ke dalam Susila (esensi,laksana,prilaku). Sebab sesungguhnya buah manis dari pendalaman tattwa (filsafat) dan pelaksanaan ritual upacara yajna (sebagai alat/simbol) adalah terletak pada sikap atau prilaku yang mengagungkan susila/etika sebagai bagaian aling esensial dari hidup berkeagamaan yaitu mengemban amanat agar senantiasa berbuat sesuatu yang dapat mengankat harkat, meningkatkan drajat dan martabat manusia sebagai hamba Tuhan  yang dipandang mulia dan sempurna (Widana,2011:102).
                        Jika tidak bisa demikian sebagaimana diidealisasikan, maka praktek ritual yajna justru akan semakin menjadi seperti lazimnya acara-acara seremonial, yang berlangsung ala festival, dengan gaya karnaval yang bahkan beberapa diantarana berbiaya kolosal.  Sepatutnya praktek ritual itu dapat dijadikan sebagai anak tangga untuk melakukan pendakian rohhani menuju puncak kesadaran spiritual guna mencapai tujuan manusia menurut Hindu yaitu alam kekal (Moksha). Sebaliknya bila aktifitas yajna hanya bergerak bahkan nyaris berhenti di seputaran kegiatan ritual semata, yang akan terjadi bukan peningkatan atau pendakian melainkan semakin terpuruk dan berkembang menjadi ajang tampilan yang sarat dengan motif pamer kemampuan materialis-kapitalis yang didorong semangat konsumeris dan bertujuan hedonis.
                        Bila itu yang terjadi maka aspek relegiusitas dan spiritualitas yang berlandaskan satwika akan bergeser dan cenderung bergerak bahkan terjerumus ke dalam kegiatan ritual yang bersifat rajasika dan tamasika. Dan hal itu akan membuat suatu yajna itu bisa saja berlangsung dengan sukses (sidhakarya), namun belum tentu mencapai keberhasilan yang disebut sidhaning don : sekala-niskala, lahir-bathin, jasmani-rohani dan material-spiritual.
                        Dan akhirnya setiap kegiatan ritual yang sejatinya mengandung “Si-Ma-La” (symbol, makna dan laksana) tak akan pernah mengejawantah kedalam prilaku berkesusilaan. Sehingga menjadilah ritual yajna itu tak ubahnya seperti memakan buah “SIMALAKAMA”, tidak dilaksanakan pasti disalahkan , karena mengingkari kewajiban umat Hindu, namun dilaksanakanpun seakan-akan sia-sia lantaran tak berimbas positif ke dalam laksana atau prilaku nyata yang berguna bagi semuanya.
                        Bagan di bawah ini sepertinya cukup reprensif menggambarkan tentang kondisi ideal yang bisa dicapai dari praktek ritual sekaligus fenomena yang kini kian merealia :
Ritual : pendakian atau penurunan relegiusitas dan spiritualitas
SI-mbol
MA-kna
LA-ksana ???

 









“SIMALAKAMA”
2.4. Jalan Untuk Mencapai Tujuan Menurut Hindu (Moksha)
            Sperti apa yang telah disampaikan di depan, surga bukanlah tujuan umat beragama Hindu, tujuan akhir umat Hindu adalah Moksha, untuk mencapai tujuan ini orang selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran agama. Di dalam konsep Panca Sradha kita mengenal Moksha sradha. Moksha adalah bersatunya atman dengan Brahman sehingga tercapai keadaan Sat Cit ananda yaitu kebahagiaan yang abadi.
            Moksha berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata Muc’ yang berarti ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Moksha adalah suatu istilah untuk menyebutkan kalau atman telah kembali menyatu dengan Brahman (manunggaling kawula lan Gusti) dan tidak mengalami reinkarnasi. Dari segi itulah Moksha disamakan dengan Nirwana dan Nisreyasa atau keparamarthan. Moksha bersifat Nirguna, maya dan tidak ada bahasa manusia yang mampu memperjelas Moksha itu seperti apa.
            Perjalanan hidup pada hakekatnya adalah perjalanan mencari Sang Hyang Widhi Wasa, lalu bersatu denganNya akan tetapi perjalanan ini adalah suatu bentuk perjalanan yang penuh dengan rintangan-rintangan, bagaikan kita mengarungi samudra yang bergelombang, untuk itu kita sebagai umat sangat perlu menyiapkan sebuah alat/perahu yang kokoh untuk mengarungi samudra tersebut, agar kita menjadi selamat tiba di tempat. Adapun yang dimagsud alat adalah Dharma.
            Moksha dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu :
1.      Samipiya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini.  Ini dapat dilakukan para yogi.
2.      Sarupnya/sadharnya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya di mana kedudukan atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan. Seperti halnya Sri Rama, Buddha dan Sri Kresna.
3.      Salokya  adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atman, di mana atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan.
4.      Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana atman telah dapat bersatu dengan Tuhan.
            Walau demikian indahnya dan membahagiakannya Moksha, namun sangat sulit mencapainya, pencapaian Moksha bukanlah hanya cukup dengan melakukan kebaikan-kebaikan semata, namun jauh dari itu, melepaskan keinginan-keinginan menikmati sorgalah yang dapat manusia mencapai Moksha, ketika manusia berbuat baik dengan mengharapkan kenikmatan-kenimatan sorga, dapat dipastikan dia sangat sulit mencapai Moksha ini.
            Untuk mencapai Moksha kita harus membebaskan diri dari punarbhawa. Punarbhawa berasal dari akar kata punar dan bhawa, punar artinya lagi atau berulang-ulang, bhawa berarti menjadi, menjelma, lahir. Kelahiran berulang-ulang disebabkan oleh karma wesana setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan di dunia ini sesungguhna sangat banyak perbuatan yang dapat menyebabkan timbulnya punarbhawa itu. Untuk menghilangkan penyebab punarbhawa itu hendaknya seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitaan itu sendiri. Ajaran agamalah yang menuntun manusia untuk menuju kepada sifat welas asih kepada sesame dan semua makhluk hidup.
            Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu Moksha, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga Yoga.
            Catur marga yoga adalah empat jalan yang bias ditempuh untuk mencapai tujuan Mokshartham jagathita. Keempatnya ini sama utamanya. Catur marga itu adalah Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Marga. setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai dengan situsi dan kondisi masing-masing. Tidaklah mesti orang harus berpegangan pada salah satu marga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya digerakan secara harmonis seperti halnya seekor burung. Kalau diumpamakan sayap kiri dari burung adalah Jnana marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga, sedangkan ekor burungnya adaalah Raja Marga dan kekuatan mendorongnya adalah Karma Marga. seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya seimbang. Burung tidak akan bisa mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak memiliki daa dorong yang kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.
            Yang pertama adalah Bhakti Marga, Bhakti artinya cinta kasih. Istilah bhakti itu digunakan untuk pernyataan cinta kepada sesuatu yang lebih dihormat, misalnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada Negara, ataupun priadi-pribadi yang di hormati. Bhakti dibagi menjadi dua tingkat yaitu Aparabhakti dan Parabhakti.  Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih lebih rendah yang dipraktekan oleh mereka yang mempunyai tingkat kerohanian tinggi. Sedangkan Parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat
            Ajaran bhakti marga adalah ajaran yang langsung dan riil mencari Tuhan, ajaran yang alamiah, ajaran yang mudah diterima dan dilaksanakan oleh orang awam. Ajaran bhakti adalah ajaran yang mudah dilaksanakan oleh segala tingkat dan sifat manusia. Karena itu bhakti marga langsung menikmati buahnya agama, dimana cinta sebagai alat dan cinta juga sebagai tujuan. Seorang Bhakta (penganut bhakti marga) adalah orang yang penuh cinta kasih, cinta kepada Tuhan, cinta sesama dan cinta pada alam semesta ciptaan Tuhan.
            Marah, benci, iri dan takut adalah akibat dari kemelaratan. Bhakti dan cinta dan kasih bisa melenyapkan itu semua.
            “Yon a hrishyati na dveshti
            Na sochati na kankshati
            Subhasubha-parityogi
            Bhaktiman ya same priyah (Bhag.XII.17)

Artinya :

                Dia yang tiada bersenang dan membenci, tiada berduka dan bernafsu apa,             membebaskan diri dari kebaikan dan kebatilan, penuh dengan kebhaktian dialah      yang    kukasihi.

            Cinta kasih yang menyebabkan dunia ini bergerak menuju kedamaian dan ketenangan. Tuhan adalah sumbernya cinta kasih.

            “Balam balavatam cha’ham
            Kamaraga vivarjitam
            Dharmaviruddho bhuteshu
            Kimo’smi bhartashabha (Bhag. VII.11)

Artinya :

            Aku adalah kekuatan dari yang perkasa, bebas dari keinginan dan nafsu birahi. Aku adalah cintanya semua insane, yang tidak bertentangan dengan Dharma oh Bharata Sabha.

            Yang kedua adalah karma marga yoga. Karma adalah perbuatan. Jadi Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai kesatuan atman dan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa ikatan, tanpa pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan pengorbanan.
            Dalam Karma Marga Yoga, perbuatan dan kerja merupakan suatu pengembalian dengan melepaskan segala hasil atau buah dari segala perbuatan dan segala yang dikerjakannya. Dengan melakukan amal kebajikan tanpa pamrih, akan dapat mengembalikan emosi dan melepaskan atma dari ikatan duniawi.
            Seorang Karmin dapat melepaskan diri dari ikatan karma wasana dan karma phala nya, terbebas dari unsur-unsur maya, sehingga mencapai kesempurnaan dan kebebasan tertinggi (Moksha)
“Na karmanam anarambhan
Naishkrmyam purusho ‘snute
Na cha samnyasanad eva
Sddhim samadhigachchati

Artinya :
“Bukan dengan jalan tiada bekerja, orang dapat mencapai kebebasan dari perbuatan. Juga tidak hanya melepaskan diri dari pekerjaan, orang akan mencapai kesempurnaannya." (Bhagawad Gita III-4)

“Mayi satvani karmani
Samnyasya dhyatmachetasa
Nirasir nirmamo bhutva
Yudhyasva vigatajvarah

Artinya;

“Serahkanlah segala pekerjaan kepadaku, dengan memusatkan pikiran kepada atma, melepaskan diri dari pengharapan dan perasaan keakuan, dan berjuanglah kamu, bebas dari pikiranmu yang susah” (Bhagawad Gita III-30)

“Tasnad asaktah satatam
Na ‘kritene ‘ha kaschana
Na cha ‘sya sarvabhuteshu
Kaschid artavyapasrayah

Artinya:
“Bekerjalah kamu selalu, yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya” (Bhagawad Gita III-19)
            Jadi seorang Karmin dalam kehidupannya selalu bekerja tanpa pamrih, mengutamakan pengabdian dan pengorbanan, sehingga hidupnya tidak akan mungkin sia-sia di dunia ini, sebab phala pengorbanan dan pengabdiannya mendapatkan kesempurnaan lahir bathin dan Moksha.
            Yang ketiga adalah Jnana Marga. Dalam membahas jnana marga maka kita akan banyak mengambil sumber dari Upanisad dan tattwa. Janan marga mengutamakan kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri, di mana pengabdian sebagai motivator dari geraknya.
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat atau ilmu pengetahuan. Jadi Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman berdasarkan atas ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan filsafat kebenaran.
            Menurut Upanisad pengetahuan seorang bijaksana (Jnanin) dapat dibagi atas dua bagian yaitu Apara Widya dan Pari Widya. Apara Widya adalah pengetahuan dalam tingkat kemewahan suci (ajaran-ajaran suci Weda) sedangkan Pari Widya adalah pengetahuan tingkat tinggi tentang hakikat kebenaran Atman dan Brahman. Jadi Apara Widya adalah dasar untuk mencapai Pari Widya. Seorang Jnanin memiliki pengetahuan untuk mencapai kebenaran yang sempurna, dengan Wiweka (logika) yang dalam mereka benar-benar bisa membedakan yang kekal dan tidak kekal, sehingga bisa melepaskan yang tidak kekal dan mencapai kekekalan yang sempurna.

“Manusyam durlabham prapya vidyullasitacancalam
bhavaksaye matih karya bhavopakaranesu ca”
artinya :

            “Alangkah cepat dan pendeknya kehidupan sebagai manusia ini, tak bedanya dengan sinarnya kilat dan sangat susah pula untuk didapat. Oleh karena itu berusaha benar-benarlah untuk berbuat (sadhana) berdasarkan kebenaran (dharma) untuk menghapuskan kesengsaraan hidup guna mencapai sorga” (Sarasamuscaya II-14).

Duhkhesvh anudvignamanah
Sukheshu vigatasprihah
Vita raga bhaya krodhah
Sthitadhir munir uchyate
Artinya ;
            “Ia yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana” (Bhagawad Gita II-56).
            Yang keempat adalah Raja Marga Yoga. Raja Marga adalah suatu jalan atau usaha seseorang untuk mencapai jagathita dan Moksha, adalah melalui pengendalian diri dan konsentrasi. Pengendalian diri memerlukan suatu latihan yang terus menerus, yang dilandasi oleh ketekunan.
Mengendalikan mata dapat dengan memejamkan mata, mengendalikan mulut dapat dengan menutupnya, tetapi mengendalikan pikiran jauh lebih sulit. Karena pikiran itu tidak mengenal jarak batas, demikian pula waktu dan tempat dan bergerak lebih cepat dari angin.
Agar pikiran dapat dikendalikan maka perlulah dilatih membebaskan diri dari ikatan duniawi.
Pengendalian itu akan dapat terwujud :
  1. Membiasakan diri hidup sederhana, apa yang ada hendaknya disyukuri. Dengan membiasakan hidup yang sederhana maka kepuasan dan kebahagiaan itu akan mudah serta murah mendapatkannya.
  2. Mengendalikan pikiran adalah dengan meniadakan keinginan. Yang dimaksud dengan meniadakan keinginan adalah keinginan yang pamrih untuk kepentingan diri sendiri. Tujuannya agar kita dapat menjadi tuan dari tubuh kita sendiri. Tetapi jangan sebaliknya menjadi budaknya panca indria yang merupakan alat bagi tubuh untuk menggoda pemiliknya.
  3. Konsentrasi, yakni pemusatan pikiran kepada hal-hal yang baik dan benar. Yoga mengajarkan ada tatacara untuk melatih konsntrasi, yang disebut dengan Astangga Yoga, yaitu : Yama, Nyama, Asana, Pranayama, Prathyahara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Yama adalah pengendalian diri tahap pertama, yang jumlah lima, yakni Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawaharika dan Astainya. Nyama, pengendalian diri tahap ke dua, yakni Akrodha, Guru Susrusa, Sauca, Aharalaghawa, Apramada. Asana, adalah latihan tubuh, agar menjadi sehat dan suci. Pranayama, mengatur nafas dengan baik, serta perimbangan yang serasi antara menarik (puraka), menahan (kumbhaka) dan mengeluarkan nafas (recaka). Prathyahara, menarik indria dari objeknya (wisaya). Dharana, mengarahkan pikiran kepada objeknya. Dhyana, memimpinnya agar sungguh-sungguh bisa terpusat. Samadhi, menunggalkan pikiran (atma) dengan objek yang dituju (Tuhan).
  4. Kesucian, yang perlu dipertahankan. Sebab tanpa kesucian sesuatu itu akan sulit tercapai, yang disucikan adalah jasmani dan rohani
            Demikianlah sekilas tentang arti dan pengertian Catur Marga yang juga disebut dengan Catur Marga Yoga. Semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Keempat jalan pencapaian Moksha ini sesungguhna memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan secara sungguh-sungguh. Setiap orang akan memiliki kecendrungan memilih jalan-jalan tersebut. Oleh karena itu setiap orang memilki jalan masin-masing untuk mencapai Moksha. Moksha sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji hampa melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang dalam.

















BAB III PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
            Menurut Hindu, surga berasal dari kata "svar" yang artinya "cahaya" dan "ga" (go dalam bahasa Inggris artinya pergi). Dengan demikian, swarga diartikan "pergi menuju cahaya".
            Surga dibayangkan sebagai tempat tercermin dalam lakon Bima Swarga, yaitu perjalanan Bima ke surga mencari Pandu yang akan "diaben". Demikian pula dalam Arjuna Wiwaha, dikisahkan kunjungan Arjuna ke surga setelah lulus dari tapanya di Gunung Indrakila. Dalam cerita rakyat Cupak-Gerantang, Cupak dikisahkan ke surga mencari ayahnya yaitu Dewa Brahma.
                        Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta (Brahman).
                        Ritual upacakara bisa mencapai tujuan hidup. praktek ritual itu dapat dijadikan sebagai anak tangga untuk melakukan pendakian rohhani menuju puncak kesadaran spiritual guna mencapai tujuan manusia menurut Hindu yaitu alam kekal (Moksha). Sebaliknya bila aktifitas yajna hanya bergerak bahkan nyaris berhenti di seputaran kegiatan ritual semata, yang akan terjadi bukan peningkatan atau pendakian melainkan semakin terpuruk dan berkembang menjadi ajang tampilan yang sarat dengan motif pamer kemampuan materialis-kapitalis yang didorong semangat konsumeris dan bertujuan hedonis.
            Moksha berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata Muc’ yang berarti ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Moksha adalah suatu istilah untuk menyebutkan kalau atman telah kembali menyatu dengan Brahman (manunggaling kawula lan Gusti) dan tidak mengalami reinkarnasi. Dari segi itulah Moksha disamakan dengan Nirwana dan Nisreyasa atau keparamarthan. Moksha bersifat Nirguna, maya dan tidak ada bahasa manusia yang mampu memperjelas Moksha itu seperti apa. Untuk mencapai Moksha kita harus membebaskan diri dari punarbhawa. Punarbhawa berasal dari akar kata punar dan bhawa, punar artinya lagi atau berulang-ulang, bhawa berarti menjadi, menjelma, lahir.
            Catur marga yoga adalah empat jalan yang bias ditempuh untuk mencapai tujuan Mokshartham jagathita. Keempatnya ini sama utamanya. Keempatnya itu hendaknya digerakan secara harmonis seperti halnya seekor burung. Kalau diumpamakan sayap kiri dari burung adalah Jnana marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga, sedangkan ekor burungnya adaalah Raja Marga dan kekuatan mendorongnya adalah Karma Marga. seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya seimbang. Burung tidak akan bisa mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak memiliki daa dorong yang kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.
                setiap orang memilki jalan masin-masing untuk mencapai Moksha. Moksha sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji hampa melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang dalam.
3.2. Saran
            Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi). " Surga, neraka dan moksa ada tersembunyi didalam setiap perbuatanmu sendiri".
           
“Sopanabhutam svargasya manusyam prapya durlabham,
            Tathatmanam samadayad dhvamseta na purnayatha”
Artinya :
            “Kesimpulannya pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke surga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi itulah hendaknya dilakukan.”(sarasamuccaya.6)
 

 DAFTAR PUSTAKA
§  Pudja. MA., SH. G. Bhagawadgita. Mayasari, Jakarta.
§  Pendit. Nyoman’s. Bhagawadgita. Hanuman Sakti, Jakarta.
§  Kajeng. I Nyoman, DKK. Sarasamuccaya. Paramita, Surabaya.
§  Widana. I Gusti Ketut. Ritual Sebagai Media Pendidikan Spiritual, Jurnal Pendidikan Agama dan Seni, Widyanatya. 2011. Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia.
§  Cudamani. Pengantar agama Hindu. 1993. Hanuman Sakti, Jakarta.
§  MGMP Kabupaten Gianyar. Swastika, Modul Agama Hindu. Paramita.
§  Wiana. Ketut. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. 1993. Manikgeni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar