TUJUAN AKHIR BUKANLAH SURGA
oleh: anak agung gde oka santika
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.
Latar Belakang
Dalam pembahasan kali ini disebut
tentang adanya surga, neraka dan moksha. Dalam ceramah-ceramah agama, surga dan
neraka ini banyak sekali disebut-sebut, tapi paling sedikit dijelaskan.
Orang-orang yang rajin beribadat serta berbuat baik dalam hidupnya di dunia ini
nanti setelah mati akan mendapat surga. Sebaliknya, orang-orang yang
mengabaikan ibadat dan berbuat buruk di dunia ini kelak setelah mati akan masuk
neraka.
Surga, mendengar kata ini
membayangkan kita bahwa jikalau masuk surga maka hidup kita akan tentram dan
bahagia, tetapi di dalam konsep Hindu tujuan umat beragama Hindu bukanlah surga,
melainkan Moksha. Melalui swadharmaning agama kita bisa mencapai tujuan.
Diibaratkan agama itu adalah sebuah perahu yang mengantarkan pedagang untuk
menebrangi lautan dan ke tempat tujuannya (sarasamucchaya-14).
sama halnya dengan agama, agama adalah sarana transportasi menuju tujuan kita Mokshartham Jagathita Ya Ca iti Dharma. Kata Surga atau Sorga, didalam
bahasa Sanskerta disebut Svarga. Ia berasal dari kata Svah dan Ga. kata Svah,
ia berarti suka, senang, bahagia.
Sesuai penjelasan di atas, apakah
kita berpendapat Surga itu ada ataukah tidak ada, kita semua mengertikan Surga
itu adalah kesukaan, kesenangan, atau hals serta keadaan yang dipenuhi oleh
berbagai kesenangan-kesenangan, kenikmatan-kenikmatan, bahkan lebih jauh ada
yang memberikan "perhatian pertama"-nya pada kesan bahwa Surga itu berarti
kita akan dilayani oleh wanita-wanita cantik alias para bidadari yang tidak
akan pernah berubah usia ke menjadi tua, para apsara yang selalu muda cantik
menarik. Itulah Surga yang ada di kepala kita, sesuai penjelasan tadi, yaitu
Surga berarti kesukaan, kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan.
Apabila kita membahas surga maka
juga kita harus menyingung neraka, karena surga dan neraka sangat berkaitan
erat. Surga dan neraka ada
tersembunyi didalam setiap perbuatan kita sendiri. Demikian juga hasil karma
kejahatan/keburukan akan mengantarkan orang ke neraka.
“Tvi vidam narakasyedam
Dvaram nasanam atmanah,
Kamah
krodhas tatha lobhas
Tasmad
etat trayam tyajet (bhagawadgita XVI-21)
Artinya;
“Tiga
pintu gerbang neraka jalan menuju jurang kehancuran jiwa. Ada tiga yaitu kama, krodha dan lobha oleh karena itu,
ketiganya harus dihindarkan.
Sekarang
kita mengalih kepada kata Neraka, yang didalam penulisan Latin biasanya ditulis
Naraka atau Naaraka. Penjelasan-penjelasan tentang Neraka, kita bisa dapatkan
didalam berbagai kitab-kitab suci Veda. Khususnya yang banyak mengajarkan
masalah Surga Neraka secara detail adalah kitab-kitab Itihasa dan Purana. Kalau
didalam literatur Catur Veda atau bagian-bagian terdekatnya seperti Upanisad
dll, perihal Surga Neraka dijelaskan lebih banyak didalam bentuk
"sangketik" atau aba-aba, tanda-tanda yng sering pula tidak jelas,
seperti misalnya "andham tamah pravisanti sarve", - mereka semua
pergi kepada kegelapan maha pekat.
Terhadap pertanda-pertanda "sangketik" seperti itu, hanya beliau-beliau yang tertentu saja dapat mengertikannya. Tetapi, didalam literatur Veda khususnya Purana-purana dan Itihasa, Surga Neraka diberikan penjelasan yang lebih rinci bahkan dengan deskripsi yang jelas gamlang. Yang sekali membaca atau mendengar, orang tidak terpelajar pun dapan mengertikannya dengan baik.
Penjelasan-penjelasan dengan
paparan-paparan yang sangat jelas, langsung dihubungkan dengan kehidupan yang
manusia alami sehari-hari, memberikan gambaran sangat jelas kepada orang-orang
pada umumnya tentang Surga dan Neraka. Orang tidak lagi meraba-raba tentang apa
itu Surga Neraka melainkan mereka diajak langsung "mengalami" Surga -
Neraka tersebut. "Benarkah ada Neraka atau Surga?", kita tidak akan
pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan atau keraguan seperti itu dari bibir
para penganut Veda atau orang-orang Hindu pada umumnya. Mereka telah
"diajak mengalami" Surga Neraka itu apa, dan mereka telah menutup
keraguan terhadap keberadaan Surga Neraka itu.
Kalau toh ada yang mempunyai
keraguan tentang surga dan neraka, maka mari kita bahas bersama-sama.
2.2. Rumusan Masalah
Dalam
percakapan sehari-hari sering kita dengar orang berkata "seperti di surga
rasanya" atau "seperti di neraka rasanya" Tapi dan bagaimana
surga itu? Dimanakah neraka? dan apakah Moksha? Adakah jalan menuju kesana? Kalau kita membeli rumah, kita harus tahu
dimana letaknya, berapa luasnya, bahan bangunannya dari apa serta apa isinya.
Tentu saja kita tidak mungkin ke surga sebelum kita mati. Tapi paling sedikit
kita harus tahu "denah dan gambarannya", melalui apa yang
dikatakan agama-agama tentangnya.
1.3. Tujuan
Tujuan sejati orang Hindu tidaklah
mengejar sorga. sorga dan kenikmatan yang ada di dalamnya bukanlah idam-idaman
pemeluk Hindu sejati. ada yang jauh lebih indah dan membahagiakan dibandingkan
kenikmatan surga. kenikmatan surga sangat terbatas. Tujuan penulis membuat
karya ilmih ini bukanlah semata-mata hanya penyelesaian tugas belaka, terlebih
lagi menyelesaikan tugas hanya mengandalkan internet saja ataupun copy paste
tugas teman. Tidak! Melainkan penulis mengerjakan karya ini bertujuan
mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu. menambah
keyakinan akan konsep ajaran agama khusus nya moksha, karena Moksha itu
bukanlah janji melainkan keyakinan yang berakhir dengan kenyataan dalam dunia
batin yang merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan
berdasarkan intuisi yang dalam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Surga dan Neraka
2.1.1. Surga Menurut Hindu
Menurut
Hindu, surga berasal dari kata "svar" yang artinya "cahaya"
dan "ga" (go dalam bahasa Inggris artinya pergi). Dengan demikian,
swarga diartikan "pergi menuju cahaya". Mengutip Veda dan Upanisad,
dalam buku ini dijelaskan bahwa surga adalah dunia yang penuh cahaya, di mana
cahaya matahari, bulan dan bintang tidak ada artinya apa-apa dibanding cahaya
yang dipancarkan surga. Ada pula disebutkan, bila surga atau neraka merupakan
kata sifat atau keadaan, itu berarti surga dan neraka itu ada di dunia ini
(halamana 198). Dalam percakapan orang awam, surga dan neraka sering disebut
sebagai sebuah tempat. Akan tetapi di mana tempat itu, tidak ada yang dapat
menjawab kurang pasti.
Dipercayai
sebagai tempat, mungkin lantaran mereka mengacu pada cerita-cerita klasik
seperti Ramayana, Mahabharata, dan cerita rakyat yang menceritakan tentang
surga dan neraka. Dalam Ramayana dan Mahabharata yang sering diangkat sebagai
lakon pementasan wayang kulit, surga sering diidentikkan sebagai alamnya para
dewa dan bidadari. Alamnya Dewa Brahma sering disebut Brahmaloka, alamnya Indra
disebut Indraloka. Di surga sepertinya juga ada "negara-negara
bagian".
Surga
dibayangkan sebagai tempat tercermin dalam lakon Bima Swarga, yaitu perjalanan
Bima ke surga mencari Pandu yang akan "diaben". Demikian pula dalam
Arjuna Wiwaha, dikisahkan kunjungan Arjuna ke surga setelah lulus dari tapanya
di Gunung Indrakila. Dalam cerita rakyat Cupak-Gerantang, Cupak dikisahkan ke
surga mencari ayahnya yaitu Dewa Brahma. Dari cerita tersebut, maka surga dan neraka
jelas-jelas digambarkan sebagai tempat. Tempat ini mungkin juga merupakan
simbol yang bisa ditafsirkan sebagai "sifat" atau
"keadaan".
Istilah
surga yang kita kenal berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Svarga (Swarga).
Dalam ajaran Hindu, Svarga adalah sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang
baik, sebuah tempat penantian sebelum reinkarnasi namun belum siap untuk
mencapai mokhsa, dimana lokasinya di puncak Gunung Meru. Ibu kota Svarga adalah
Amaravati, dipimpin oleh Dewa Indra, dimana pintu masuknya dijaga oleh
Airavata.
Dalam
bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi Swarga. Istilah Surga dalam bahasa
Arab disebut Jannah, sedangkan dalam bahasa Hokkian digunakan istilah Thian.
Dalam Agama Hindu tidak kita temukan gambaran neraka seperti
itu. Lalu apakah orang baik dan orang jahat sama-sama masuk surga?. Bagaimana
soal keadilan ditegakkan?. Dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
setelah mati, jiwa kita mencapai Moksha atau lahir kembali kedunia. Bila kita
lahir kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat- akibat dari
perbuatan kita dari kehidupan yang terdahulu. Akibat baik atau akibat buruk.
Disini dikenal istilah kelahiran surga dan kelahiran neraka. Kelahiran surga artinya dalam hidup ini kita menjadi orang yang beruntung dan berbahagia. Kelahiran neraka artinya dalam hidup ini kita akan menderita dan banyak mendapat kesulitan. Penderitaan itu sangat banyak jenisnya. Misalnya karena : sakit yang tidak dapat disembuhkan, penghianatan, kebencian, dendam, iri hati, sakit hati, dan kemarahan yang tak terkendali adalah bentuk neraka didunia ini.
pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat Hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
Sesungguhnya
konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan
akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk
Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta
(Brahman).
Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.
Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.
Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.
apakah Sorga persinggahan sementara Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta)
2.1.2. Neraka Menurut Hindu
Neraka sendiri disebutkan sebagai
"nrinati klesham", yaitu sebagai yang membawa klesha. Kata klesha
dipergunakan didalam literatur SAnskerta untuk menunjukkan keburukan,
kesakitan, keaiban. Secara umum, klesha berarti kedukaan, kesengsaraan,
kesakitan, penderitaan dan lain-lain sejenis itu. Jadi, kalau menurut
pengertian ini (nrinati klesham iti naraka) berarti Naraka adalah yang
memberikan penderitaan, kedukaan, kesengsaraan, kesakitan, siksaan.
Kitab-kitab Yoga khususnya Yoga
Sutra Patanjali memberikan penjelasan tentang 5 (lima) jenis kedukaan yang
diberi nama Panca Klesha, antara lain:
1. avidya menunjukkan kebodohan, kegelapan, ketidakberadaan pengetahuan,
1. avidya menunjukkan kebodohan, kegelapan, ketidakberadaan pengetahuan,
2. asmita
berarti mementingkan diri sendiri, kecendrungan egoisme,
3. raga berarti ketertarikan,
4. dvesha
menunjuk pada kebencian, (biasanya raga dan dvesha selalu disebut atau ditulis
bergandengan, raga-dvesha, tertarik-benci) dan
5. abhinevesa
menunjuk pada keterikatan.
Neraka
memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen
mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama entah itu baik atupun
tidak dan mendapat imbalan yang sama lantas apa yang mendasari orang untuk
selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
Neraka
dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh
di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk
kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh
yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan
tombak dan dipukuli dengan palu godam.
Di dalam Hindu
sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu
mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep
Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat
reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan
dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu
reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Bagi umat Hindu,
kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan
terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap
manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam
beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu,
yaitu Moksha.
2.2. Konsep
Buddhis tentang Surga dan Neraka.
Sang Buddha
membentangkan alam-alam kehidupan dalam tiga puluh satu jenis yang membentuk
tiga kelompok. Namanya Triloka.
Kelompok
pertama dinamakan kamma-loka atau alam kehidupan indrawi, terdiri dari sebelas jenis alam
yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh alam yang
menyenangkan (suggati).
Kelompok kedua , rupa-loka atau alam kehidupan dari rupa Brahma, terdiri dari : - enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka, atau alam kehidupan dari arupa Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.
Di alam-alam tersebut ,
para makhluk mengembara , mengalami siklus lahir dan mati berulang-ualang
sebelum berhasil mencapai Nirwana atau Nibbana.
Keempat alam yang menyedihkan adalah:
Keempat alam yang menyedihkan adalah:
1) Neraka (Niraya), yang terbagai dalam beberapa kelompok alam, diantaranya
ada kelompok maha-neraka yang terdiri dari delapan jenis neraka, salah satunya
yang terkenal Avici-neraka, tempat Dewadata dilahirkan kembali atau tumimbal
lahir dalam kehidupan berikutnya. Kehidupan di neraka tidaklah kekal, dengan
habisnya karma buruk, penghuni neraka kemudian dapat terlahir di alam lain;
2) Alam binatang (tiracchana), ada yang dapat dilihat dengan mata biasa dan ada yang tidak;
3) Alam hantu (peta), juga terbagi dalam beberapa kelompok yang tidak terlihat dengan mata biasa. Ada empat jenis hantu ,
a)
yang hidup dari pemberian makhluk lain (paradattupajivika-peta) ,
b) yang selalu kelaparan dan kehausan
(khupapipasika-peta) ,
c)
yang selalu kepanasan (nijjhamatanhika-peta) , dan sejenis asura
(kalakancika-peta);
4) Alam asura (mengandung arti tidak bercahaya atau tidak bergerak), ada
kelompok makhluk neraka (niraya -asura), ada kelompok hantu (peta-asura).
Dalam kitab
Abhibhu-sutta tidak disebutkan nama alam-alam yang rendah secara tersendiri dan
berbeda dengan nama-nama surga yang di sebutkan secara satu-persatu.
Alam binatang terdapat di bumi yang juga merupakan alam manusia. Begitupun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri, mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Rupanya ke empat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagai keadaan batin. Bumi dapat menjadi surga atau neraka, tergantung pada manusia yang menghuninya.
Alam binatang terdapat di bumi yang juga merupakan alam manusia. Begitupun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri, mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Rupanya ke empat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagai keadaan batin. Bumi dapat menjadi surga atau neraka, tergantung pada manusia yang menghuninya.
Sedangkan ke tujuh alam yang menyenangkan adalah :
1) Alam manusia (manussa) , ditandai adanya penderitaan, juga kebahagiaan. Para
Bodhisattva lebih memilih alam manusia, karena alam ini paling sesuai untuk
mengabdi dan menyempurnakan paramita. Para Buddha melalui kelahiran sebagai
manusia untuk dapat menyempurnakan dirinya. Apa yang kita sebut sebagai bumi,
adalah Jambudipa. Di jagat raya ini menurut kosmologi Buddhis terdapat banyak
sekali bumi yang sejenis. Aparagoyana, Uttarakura, dan Pubbavideha diduga juga
merupakan planet yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia;
2) Surga Catummaharajika, dihuni oleh Empat Dewa Raja (maha-raja) dan pengikutnya.
Dewa-dewa pelindung empat penjuru cakrawala ini adalah Dewadhatarattha,
Dewavirulaka, Dewavirupakkha, dan Dewakuvera. Menurut Buddha Dharma ada tiga
dewa di alam ini, yaitu dewa yang tinggal di atas bumi, seperti di gunung,
sungai , laut. Rumah, Vihara; Dewa yang tinggal di atas pohon; dan dewa yang
tinggal di angkasa termasuk di planet lain;
3) Surga Tavatimsa, dihuni oleh tiga puluh tiga dewa, dengan Dewa Sakka sebagai
rajanya;
4) Surga Yama, dihuni oleh mereka yang tidak mengenal kesulitan atau rasa
sakit;
5) Surga Tusita, alam kenikmatan. Sebelum dilahirkan sebagai manusia , para
Bodhisattva , termasuk Maitreya tinggal di alam ini;
6) Surga Nimmanarati, alam dewa yang menikmati ciptaannya;
7) Surga Paranimmita-vasavatti , alam dewa yang membantu
menyempurnakan ciptaan dewa-dewa lain.
Melihat konsepsi alam
dalam Buddha Dharma, maka umat Buddha bebas memilih. Yang selalu berbuat baik
akan tinggal di alam yang menyenangkan dan yang dipenuhi oleh Lobha, dosa, dan
moha akan tinggal di alam yang menyedihkan. Alam yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan tersedia di bumi, dan makhluk-makhluk termasuk manusia berlomba
untuk meraihnya.( Ringkasan : Maha Karmavibhangga Sutra; Ksitigarbha
Bodhisattva Purva-Pranidhana Sutra).
2.3. Mencapai Tujuan Manusia Menurut Hindu
2.3.1. Melalui Ritual Simalakama
Dalam melaksanakan
kewajiban upacara yanjna (ritual-simbolik), selain berlandaskan tattwa (substansi,
filosofi, konsepsi, makna), hendaknya diimplementasikan juga ke dalam Susila
(esensi,laksana,prilaku). Sebab sesungguhnya buah manis dari pendalaman tattwa
(filsafat) dan pelaksanaan ritual upacara yajna (sebagai alat/simbol) adalah
terletak pada sikap atau prilaku yang mengagungkan susila/etika sebagai bagaian
aling esensial dari hidup berkeagamaan yaitu mengemban amanat agar senantiasa
berbuat sesuatu yang dapat mengankat harkat, meningkatkan drajat dan martabat
manusia sebagai hamba Tuhan yang
dipandang mulia dan sempurna (Widana,2011:102).
Jika tidak bisa demikian
sebagaimana diidealisasikan, maka praktek ritual yajna justru akan semakin
menjadi seperti lazimnya acara-acara seremonial, yang berlangsung ala festival,
dengan gaya karnaval yang bahkan beberapa diantarana berbiaya kolosal. Sepatutnya praktek ritual itu dapat dijadikan
sebagai anak tangga untuk melakukan pendakian rohhani menuju puncak kesadaran
spiritual guna mencapai tujuan manusia menurut Hindu yaitu alam kekal (Moksha).
Sebaliknya bila aktifitas yajna hanya bergerak bahkan nyaris berhenti di
seputaran kegiatan ritual semata, yang akan terjadi bukan peningkatan atau
pendakian melainkan semakin terpuruk dan berkembang menjadi ajang tampilan yang
sarat dengan motif pamer kemampuan materialis-kapitalis yang didorong semangat
konsumeris dan bertujuan hedonis.
Bila itu yang terjadi
maka aspek relegiusitas dan spiritualitas yang berlandaskan satwika akan
bergeser dan cenderung bergerak bahkan terjerumus ke dalam kegiatan ritual yang
bersifat rajasika dan tamasika. Dan hal itu akan membuat suatu yajna itu bisa
saja berlangsung dengan sukses (sidhakarya), namun belum tentu mencapai
keberhasilan yang disebut sidhaning don : sekala-niskala, lahir-bathin,
jasmani-rohani dan material-spiritual.
Dan akhirnya setiap
kegiatan ritual yang sejatinya mengandung “Si-Ma-La” (symbol, makna dan
laksana) tak akan pernah mengejawantah kedalam prilaku berkesusilaan. Sehingga
menjadilah ritual yajna itu tak ubahnya seperti memakan buah “SIMALAKAMA”,
tidak dilaksanakan pasti disalahkan , karena mengingkari kewajiban umat Hindu, namun
dilaksanakanpun seakan-akan sia-sia lantaran tak berimbas positif ke dalam
laksana atau prilaku nyata yang berguna bagi semuanya.
Bagan di bawah ini
sepertinya cukup reprensif menggambarkan tentang kondisi ideal yang bisa
dicapai dari praktek ritual sekaligus fenomena yang kini kian merealia :
Ritual : pendakian atau penurunan relegiusitas dan
spiritualitas
SI-mbol
MA-kna
LA-ksana ???
“SIMALAKAMA”
2.4. Jalan Untuk Mencapai Tujuan Menurut Hindu
(Moksha)
Sperti apa yang telah disampaikan di depan, surga
bukanlah tujuan umat beragama Hindu, tujuan akhir umat Hindu adalah Moksha,
untuk mencapai tujuan ini orang selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran agama.
Di dalam konsep Panca Sradha kita mengenal Moksha sradha. Moksha adalah
bersatunya atman dengan Brahman sehingga tercapai keadaan Sat Cit ananda yaitu
kebahagiaan yang abadi.
Moksha berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata Muc’ yang berarti ketenangan, kebebasan
dan kebahagiaan yang kekal abadi. Moksha adalah suatu istilah untuk menyebutkan
kalau atman telah kembali menyatu dengan Brahman (manunggaling
kawula lan Gusti) dan
tidak mengalami reinkarnasi. Dari segi itulah Moksha disamakan dengan Nirwana
dan Nisreyasa atau keparamarthan. Moksha bersifat Nirguna, maya dan tidak ada
bahasa manusia yang mampu memperjelas Moksha itu seperti apa.
Perjalanan hidup pada hakekatnya adalah perjalanan
mencari Sang Hyang Widhi Wasa, lalu bersatu denganNya akan tetapi perjalanan
ini adalah suatu bentuk perjalanan yang penuh dengan rintangan-rintangan,
bagaikan kita mengarungi samudra yang bergelombang, untuk itu kita sebagai umat
sangat perlu menyiapkan sebuah alat/perahu yang kokoh untuk mengarungi samudra
tersebut, agar kita menjadi selamat tiba di tempat. Adapun yang dimagsud alat
adalah Dharma.
Moksha dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu :
1.
Samipiya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa
hidupnya di dunia ini. Ini dapat
dilakukan para yogi.
2.
Sarupnya/sadharnya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh
seseorang di dunia ini, karena kelahirannya di mana kedudukan atman merupakan
pancaran dari kemahakuasaan Tuhan. Seperti halnya Sri Rama, Buddha dan Sri
Kresna.
3.
Salokya adalah suatu kebebasan yang
dapat dicapai oleh atman, di mana atman itu sendiri telah berada dalam posisi
dan kesadaran yang sama dengan Tuhan.
4.
Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana atman telah
dapat bersatu dengan Tuhan.
Walau
demikian indahnya dan membahagiakannya Moksha, namun sangat sulit mencapainya,
pencapaian Moksha bukanlah hanya cukup dengan melakukan kebaikan-kebaikan
semata, namun jauh dari itu, melepaskan keinginan-keinginan menikmati sorgalah
yang dapat manusia mencapai Moksha, ketika manusia berbuat baik dengan
mengharapkan kenikmatan-kenimatan sorga, dapat dipastikan dia sangat sulit
mencapai Moksha ini.
Untuk mencapai Moksha kita harus
membebaskan diri dari punarbhawa. Punarbhawa berasal dari akar kata punar dan
bhawa, punar artinya lagi atau berulang-ulang, bhawa berarti menjadi, menjelma,
lahir. Kelahiran berulang-ulang disebabkan oleh karma wesana setiap makhluk
hidup. Dalam kehidupan di dunia ini sesungguhna sangat banyak perbuatan yang
dapat menyebabkan timbulnya punarbhawa itu. Untuk menghilangkan penyebab
punarbhawa itu hendaknya seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitaan itu
sendiri. Ajaran agamalah yang menuntun manusia untuk menuju kepada sifat welas
asih kepada sesame dan semua makhluk hidup.
Di dalam ajaran kerohanian Hindu
terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu Moksha, dengan menghubungkan
diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut
dengan Catur Marga Yoga.
Catur marga yoga adalah empat jalan
yang bias ditempuh untuk mencapai tujuan Mokshartham jagathita. Keempatnya ini
sama utamanya. Catur marga itu adalah Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga
dan Raja Marga. setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini
sesuai dengan situsi dan kondisi masing-masing. Tidaklah mesti orang harus
berpegangan pada salah satu marga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya
digerakan secara harmonis seperti halnya seekor burung. Kalau diumpamakan sayap
kiri dari burung adalah Jnana marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga,
sedangkan ekor burungnya adaalah Raja Marga dan kekuatan mendorongnya adalah
Karma Marga. seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan
kanannya seimbang. Burung tidak akan bisa mencapai tujuan yang dikehendaki
kalau tidak memiliki daa dorong yang kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi
sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang
dari tujuan.
Yang pertama adalah Bhakti Marga,
Bhakti artinya cinta kasih. Istilah bhakti itu digunakan untuk pernyataan cinta
kepada sesuatu yang lebih dihormat, misalnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, kepada Negara, ataupun priadi-pribadi yang di hormati. Bhakti dibagi
menjadi dua tingkat yaitu Aparabhakti dan
Parabhakti. Aparabhakti adalah cinta
kasih yang perwujudannya masih lebih rendah yang dipraktekan oleh mereka yang
mempunyai tingkat kerohanian tinggi. Sedangkan Parabhakti adalah cinta kasih
dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat
Ajaran bhakti marga adalah ajaran
yang langsung dan riil mencari Tuhan, ajaran yang alamiah, ajaran yang mudah
diterima dan dilaksanakan oleh orang awam. Ajaran bhakti adalah ajaran yang
mudah dilaksanakan oleh segala tingkat dan sifat manusia. Karena itu bhakti
marga langsung menikmati buahnya agama, dimana
cinta sebagai alat dan cinta juga sebagai tujuan. Seorang Bhakta (penganut
bhakti marga) adalah orang yang penuh cinta kasih, cinta kepada Tuhan, cinta
sesama dan cinta pada alam semesta ciptaan Tuhan.
Marah, benci, iri dan takut adalah
akibat dari kemelaratan. Bhakti dan cinta dan kasih bisa melenyapkan itu semua.
“Yon a
hrishyati na dveshti
Na sochati na
kankshati
Subhasubha-parityogi
Bhaktiman ya
same priyah (Bhag.XII.17)
Artinya :
Dia yang tiada bersenang dan membenci, tiada
berduka dan bernafsu apa, membebaskan
diri dari kebaikan dan kebatilan, penuh dengan kebhaktian dialah yang kukasihi.
Cinta
kasih yang menyebabkan dunia ini bergerak menuju kedamaian dan ketenangan.
Tuhan adalah sumbernya cinta kasih.
“Balam
balavatam cha’ham
Kamaraga vivarjitam
Dharmaviruddho
bhuteshu
Kimo’smi
bhartashabha (Bhag.
VII.11)
Artinya :
Aku adalah kekuatan dari yang
perkasa, bebas dari keinginan dan nafsu birahi. Aku adalah cintanya semua
insane, yang tidak bertentangan dengan Dharma oh Bharata Sabha.
Yang kedua adalah karma marga
yoga. Karma adalah perbuatan. Jadi Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai
kesatuan atman dan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa ikatan, tanpa
pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan pengorbanan.
Dalam
Karma Marga Yoga, perbuatan dan kerja merupakan suatu pengembalian dengan
melepaskan segala hasil atau buah dari segala perbuatan dan segala yang
dikerjakannya. Dengan melakukan amal kebajikan tanpa pamrih, akan dapat
mengembalikan emosi dan melepaskan atma dari ikatan duniawi.
Seorang
Karmin dapat melepaskan diri dari ikatan karma wasana dan karma phala nya,
terbebas dari unsur-unsur maya, sehingga mencapai kesempurnaan dan kebebasan
tertinggi (Moksha)
“Na karmanam anarambhan
Naishkrmyam purusho ‘snute
Na cha samnyasanad eva
Sddhim samadhigachchati
Artinya :
“Bukan
dengan jalan tiada bekerja, orang dapat mencapai kebebasan dari perbuatan. Juga
tidak hanya melepaskan diri dari pekerjaan, orang akan mencapai
kesempurnaannya." (Bhagawad Gita III-4)
“Mayi satvani karmani
Samnyasya dhyatmachetasa
Nirasir nirmamo bhutva
Yudhyasva vigatajvarah
Artinya;
“Serahkanlah segala pekerjaan kepadaku,
dengan memusatkan pikiran kepada atma, melepaskan diri dari pengharapan dan
perasaan keakuan, dan berjuanglah kamu, bebas dari pikiranmu yang susah”
(Bhagawad Gita III-30)
“Tasnad asaktah satatam
Na ‘kritene ‘ha kaschana
Na cha ‘sya sarvabhuteshu
Kaschid artavyapasrayah
Artinya:
“Bekerjalah kamu selalu, yang harus
dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang
tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya” (Bhagawad Gita
III-19)
Jadi seorang Karmin dalam
kehidupannya selalu bekerja tanpa pamrih, mengutamakan pengabdian dan
pengorbanan, sehingga hidupnya tidak akan mungkin sia-sia di dunia ini, sebab
phala pengorbanan dan pengabdiannya mendapatkan kesempurnaan lahir bathin dan Moksha.
Yang ketiga adalah
Jnana Marga. Dalam membahas jnana marga maka kita akan banyak mengambil sumber
dari Upanisad dan tattwa. Janan marga mengutamakan kerja tanpa pamrih untuk
kepentingan diri sendiri, di mana pengabdian sebagai motivator dari geraknya.
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat atau
ilmu pengetahuan. Jadi Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai persatuan
Atman dan Brahman berdasarkan atas ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan filsafat
kebenaran.
Menurut
Upanisad pengetahuan seorang bijaksana (Jnanin) dapat dibagi atas dua bagian
yaitu Apara Widya dan Pari Widya. Apara Widya adalah pengetahuan dalam tingkat
kemewahan suci (ajaran-ajaran suci Weda) sedangkan Pari Widya adalah
pengetahuan tingkat tinggi tentang hakikat kebenaran Atman dan Brahman. Jadi
Apara Widya adalah dasar untuk mencapai Pari Widya. Seorang Jnanin memiliki
pengetahuan untuk mencapai kebenaran yang sempurna, dengan Wiweka (logika) yang
dalam mereka benar-benar bisa membedakan yang kekal dan tidak kekal, sehingga
bisa melepaskan yang tidak kekal dan mencapai kekekalan yang sempurna.
“Manusyam durlabham prapya
vidyullasitacancalam
bhavaksaye matih karya bhavopakaranesu ca”
artinya
:
“Alangkah cepat dan pendeknya kehidupan
sebagai manusia ini, tak bedanya dengan sinarnya kilat dan sangat susah pula
untuk didapat. Oleh karena itu berusaha benar-benarlah untuk berbuat (sadhana)
berdasarkan kebenaran (dharma) untuk menghapuskan kesengsaraan hidup guna
mencapai sorga” (Sarasamuscaya II-14).
Duhkhesvh
anudvignamanah
Sukheshu
vigatasprihah
Vita
raga bhaya krodhah
Sthitadhir
munir uchyate
Artinya
;
“Ia
yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari
keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi
nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana” (Bhagawad
Gita II-56).
Yang keempat adalah Raja Marga Yoga.
Raja Marga adalah suatu jalan atau usaha seseorang untuk mencapai jagathita dan
Moksha, adalah melalui pengendalian diri dan konsentrasi. Pengendalian diri
memerlukan suatu latihan yang terus menerus, yang dilandasi oleh ketekunan.
Mengendalikan
mata dapat dengan memejamkan mata, mengendalikan mulut dapat dengan menutupnya,
tetapi mengendalikan pikiran jauh lebih sulit. Karena pikiran itu tidak
mengenal jarak batas, demikian pula waktu dan tempat dan bergerak lebih cepat
dari angin.
Agar
pikiran dapat dikendalikan maka perlulah dilatih membebaskan diri dari ikatan
duniawi.
Pengendalian
itu akan dapat terwujud :
- Membiasakan diri hidup sederhana, apa yang ada hendaknya disyukuri. Dengan membiasakan hidup yang sederhana maka kepuasan dan kebahagiaan itu akan mudah serta murah mendapatkannya.
- Mengendalikan pikiran adalah dengan meniadakan keinginan. Yang dimaksud dengan meniadakan keinginan adalah keinginan yang pamrih untuk kepentingan diri sendiri. Tujuannya agar kita dapat menjadi tuan dari tubuh kita sendiri. Tetapi jangan sebaliknya menjadi budaknya panca indria yang merupakan alat bagi tubuh untuk menggoda pemiliknya.
- Konsentrasi, yakni pemusatan pikiran kepada hal-hal yang baik dan benar. Yoga mengajarkan ada tatacara untuk melatih konsntrasi, yang disebut dengan Astangga Yoga, yaitu : Yama, Nyama, Asana, Pranayama, Prathyahara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Yama adalah pengendalian diri tahap pertama, yang jumlah lima, yakni Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawaharika dan Astainya. Nyama, pengendalian diri tahap ke dua, yakni Akrodha, Guru Susrusa, Sauca, Aharalaghawa, Apramada. Asana, adalah latihan tubuh, agar menjadi sehat dan suci. Pranayama, mengatur nafas dengan baik, serta perimbangan yang serasi antara menarik (puraka), menahan (kumbhaka) dan mengeluarkan nafas (recaka). Prathyahara, menarik indria dari objeknya (wisaya). Dharana, mengarahkan pikiran kepada objeknya. Dhyana, memimpinnya agar sungguh-sungguh bisa terpusat. Samadhi, menunggalkan pikiran (atma) dengan objek yang dituju (Tuhan).
- Kesucian, yang perlu dipertahankan. Sebab tanpa kesucian sesuatu itu akan sulit tercapai, yang disucikan adalah jasmani dan rohani
Demikianlah
sekilas tentang arti dan pengertian Catur Marga yang juga disebut dengan Catur
Marga Yoga. Semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Keempat jalan
pencapaian Moksha ini sesungguhna memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan
secara sungguh-sungguh. Setiap orang akan memiliki kecendrungan memilih
jalan-jalan tersebut. Oleh
karena itu setiap orang memilki jalan masin-masing untuk mencapai Moksha. Moksha
sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji hampa melainkan
merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan kenyataan dalam dunia
batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan
berdasarkan intuisi yang dalam.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut
Hindu, surga berasal dari kata "svar" yang artinya "cahaya"
dan "ga" (go dalam bahasa Inggris artinya pergi). Dengan demikian,
swarga diartikan "pergi menuju cahaya".
Surga
dibayangkan sebagai tempat tercermin dalam lakon Bima Swarga, yaitu perjalanan
Bima ke surga mencari Pandu yang akan "diaben". Demikian pula dalam
Arjuna Wiwaha, dikisahkan kunjungan Arjuna ke surga setelah lulus dari tapanya
di Gunung Indrakila. Dalam cerita rakyat Cupak-Gerantang, Cupak dikisahkan ke
surga mencari ayahnya yaitu Dewa Brahma.
Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka
ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia
sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan
Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta (Brahman).
Ritual
upacakara bisa mencapai tujuan hidup. praktek ritual itu dapat dijadikan sebagai
anak tangga untuk melakukan pendakian rohhani menuju puncak kesadaran spiritual
guna mencapai tujuan manusia menurut Hindu yaitu alam kekal (Moksha). Sebaliknya bila aktifitas yajna hanya bergerak
bahkan nyaris berhenti di seputaran kegiatan ritual semata, yang akan terjadi
bukan peningkatan atau pendakian melainkan semakin terpuruk dan berkembang
menjadi ajang tampilan yang sarat dengan motif pamer kemampuan
materialis-kapitalis yang didorong semangat konsumeris dan bertujuan hedonis.
Moksha berasal dari bahasa sansekerta yaitu
dari kata Muc’ yang berarti
ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Moksha adalah suatu
istilah untuk menyebutkan kalau atman telah kembali menyatu dengan Brahman (manunggaling
kawula lan Gusti) dan
tidak mengalami reinkarnasi. Dari segi itulah Moksha disamakan dengan Nirwana
dan Nisreyasa atau keparamarthan. Moksha bersifat Nirguna, maya dan tidak ada
bahasa manusia yang mampu memperjelas Moksha itu seperti apa. Untuk mencapai Moksha kita harus membebaskan diri dari
punarbhawa. Punarbhawa berasal dari akar kata punar dan bhawa, punar artinya
lagi atau berulang-ulang, bhawa berarti menjadi, menjelma, lahir.
Catur
marga yoga adalah empat jalan yang bias ditempuh untuk mencapai tujuan
Mokshartham jagathita. Keempatnya ini sama utamanya. Keempatnya itu hendaknya digerakan secara
harmonis seperti halnya seekor burung. Kalau diumpamakan sayap kiri dari burung
adalah Jnana marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga, sedangkan ekor
burungnya adaalah Raja Marga dan kekuatan mendorongnya adalah Karma Marga.
seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya
seimbang. Burung tidak akan bisa mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak
memiliki daa dorong yang kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai
kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari
tujuan.
setiap orang memilki jalan
masin-masing untuk mencapai Moksha. Moksha sebagai tujuan hidup spiritual
bukanlah merupakan suatu janji hampa melainkan merupakan suatu keyakinan yang
berakhir dengan kenyataan kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super
transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang dalam.
3.2. Saran
Agama
Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala
(karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu
keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti
membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya
dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala,
keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan
manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun
apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran
tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara
Tuhan
yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah
reinkarnasi). " Surga, neraka dan moksa ada tersembunyi didalam setiap perbuatanmu
sendiri".
“Sopanabhutam svargasya manusyam prapya durlabham,
Tathatmanam
samadayad dhvamseta na purnayatha”
Artinya :
“Kesimpulannya
pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini,
kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke
surga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi itulah hendaknya
dilakukan.”(sarasamuccaya.6)
DAFTAR PUSTAKA
§
Pudja. MA., SH. G. Bhagawadgita.
Mayasari, Jakarta.
§
Pendit. Nyoman’s. Bhagawadgita. Hanuman
Sakti, Jakarta.
§
Kajeng. I Nyoman, DKK. Sarasamuccaya.
Paramita, Surabaya.
§
Widana. I Gusti Ketut. Ritual Sebagai
Media Pendidikan Spiritual, Jurnal Pendidikan Agama dan Seni,
Widyanatya. 2011. Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia.
§
Cudamani. Pengantar agama Hindu. 1993.
Hanuman Sakti, Jakarta.
§
MGMP Kabupaten Gianyar. Swastika, Modul
Agama Hindu. Paramita.
§
Wiana. Ketut. Bagaimana Umat Hindu
Menghayati Tuhan. 1993. Manikgeni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar